Warga berkumpul, cerita dimulai
Hari Minggu kemarin aku nyasar ke kampung tetangga buat bantuin gotong royong yang dadakan. Bukan acara resmi, cuma undangan lewat grup WhatsApp rapihnya si Bu RT: “Minggu, jam 7, bawa sapu dan semangat.” Ya udah, aku datang karena penasaran dan karena gak enak nolak kalau sudah terang-terangan ditag. Rasanya aneh juga—di zaman ojek online dan belanja tinggal klik, masih ada ritual bersama yang bikin hangat. Dari anak kecil sampai kakek-kakek ikut; ada yang bawa cangkul, ada yang bawa cerita lama—obrolan ngalor-ngidul sambil kerja.
Waktu kita semua kompak—beneran kompak
Gotong royong di desa itu bukan sekadar angkat keranjang sampah. Ada wajah-wajah yang biasanya sibuk di sawah, tiba-tiba nongol dengan kemeja lusuh tapi senyum lebar. Ibu-ibu sibuk rapihin taman, bapak-bapak bongkar talang yang bocor, anak-anak nyapu sambil main kejar-kejaran. Lucunya, ada satu momen malu-malu: Pak Joko yang biasanya galak, tiba-tiba nahan tawa karena anak kecil nyanyi lagu dangdut pas lagi ngecat pos ronda. Semua kegaduhan itu bikin suasana cair—bahkan tetangga yang baru pindah jadi kenal karena bantuin angkat kerikil bareng.
CSR: bukan cuma duit doang, bro
Kebetulan minggu itu juga ada tim kecil dari sebuah perusahaan datang buat lihat progress program CSR mereka. Aku pikir mereka bakal dateng, foto, lalu pulang. Ternyata enggak. Mereka duduk bareng di balai desa, dengerin curhat warga: “Jalan berbatu bikin motor sering oleng,” “SD butuh perpustakaan kecil,” dan lain-lain. Yang bikin respect adalah pendekatannya: bukan cuma kasih paket sembako dan pulang, tapi mereka ajak warga nentuin prioritas, barengan. Salah satu referensi yang mereka sebut pas diskusi kecil itu adalah comisiondegestionmx, sebagai contoh praktik manajemen komunitas. Gokilnya lagi, tim CSR itu beneran belajar; mereka tanya tentang kebiasaan lokal, kearifan tradisional, dan gimana biar programnya tahan lama.
Langkah-langkah yang berkesan (bukan sekadar pidato)
Nih ya, dari obrolan yang kudengar, ada beberapa langkah sederhana tapi efektif yang perusahaan dan komunitas jalanin barengan: pertama, survei partisipatif—bukan survei formal, tapi curhat di warung kopi. Kedua, rancang program yang ngasih keterampilan, misalnya pelatihan manajemen usaha kecil, bukan cuma modal doang. Ketiga, gunakan tenaga lokal biar ada ownership; orang desa paling benci kalau yang bisa dikerjakan sendiri malah diambil alih orang luar. Keempat, monitoring berkelanjutan—bulan depan, tim CSR balik lagi buat cek, bukan buat foto doang. Terakhir, transparansi anggaran; semua angka dipajang di balai desa, jadi gak ada cerita “uang hilang”.
Ngomong-ngomong soal hasil, ini nyata loh
Misalnya, proyek perbaikan jalan kecil yang awalnya kelihatan sepele. Waktu perusahaan bantu material dan alat, warga kerja bareng, dan dirasa lebih cepat selesai. Efeknya: harga sayur naik turun jadi sedikit lebih stabil karena truk bisa lewat tanpa harus nyari jalur memutar. Atau proyek pelatihan pembuatan kerajinan bambu—ibu-ibu yang tadinya nurunin harga karena banyak produksi, sekarang bisa atur kualitas dan pasarkan kelompok. Ada juga pos kesehatan keliling yang jadinya rutin karena ada sponsor kecil yang menyediakan bahan habis pakai. Intinya, manfaatnya berlapis: ekonomi, kesehatan, dan tentu saja rasa percaya diri komunitas naik.
Cerita orang-orang: Ibu Sari, Bapak Joko, dan kopi petang
Waktu istirahat, aku sempat ngobrol lama sama Ibu Sari, yang dulu sempat ragu ikut pelatihan. Dia bilang, “Awalnya mikir gak penting, lah gue kan cuma ibu rumah tangga.” Tapi setelah ikut, dia mulai jualan makanan kecil ke pasar dan sekarang punya tabungan kecil. Bapak Joko, yang dulu sering mengeluh soal jalan, malah jadi ketua gotong royong yang bawel tapi lucu: setiap akhir kerja, dia pakai pengeras suara mini buat ngasih plakat “Terima kasih!” biar semua ngerasa dihargai. Obrolan kecil sambil ngeteh itu yang bikin aku kepikiran—perubahan itu nggak selalu besar, kadang cukup secangkir kopi dan pujian yang tulus.
Penutup ala diary: apa yang bisa kita tiru?
Kalau ditanya pelajaran apa yang kubawa pulang: gotong royong + CSR yang manusiawi itu paduan maut. Perusahaan harus sudi duduk di kursi kayu, dengerin suara warga, dan ngajak kerja bareng. Warga juga harus proaktif, nggak nunggu bantuan jatuh dari langit. Kalau kita semua bisa bawa sedikit rasa empati dan kerja bareng ke kehidupan sehari-hari, desa akan lebih kuat, dan kota pun bakal belajar banyak soal arti kebersamaan. Oke, segini dulu catatan hari ini. Siapa tau minggu depan aku diajak bantu panen—atau minimal dibikinin teh manis lagi. Salam gotong royong dari aku yang masih belajar kerja bareng tanpa sok pahlawan.