Di Balik Program Desa: Ketika CSR Bertemu Warga dan Aksi Nyata

Kalau ditanya kenapa gue suka ikut kegiatan di desa, jawabannya simpel: selalu ada cerita. Bukan cuma cerita soal pembangunan jalan atau bantuan sembako, tapi tentang dinamika manusia yang sering nggak tertulis di laporan kegiatan. Beberapa bulan lalu gue ikut ngawal satu program CSR dari perusahaan besar yang mau “turun tangan” di sebuah desa. Hasilnya? Campuran antara harapan, konflik kecil, tawa, dan—tentu saja—banyak kopi sachet panas.

Awal mula: janji manis atau niat tulus?

Di pertemuan pertama, presentasi CSR penuh slide cakep, grafik, dan foto senyum warga. Gue duduk di barisan belakang sambil mikir, “Semoga bukan cuma acara seremonial doang.” Warga sendiri datang dengan ekspektasi berbeda: ada yang berharap listrik stabil, ada yang pengen sumur, ada juga yang ngarep pelatihan keterampilan buat anak muda. Ada suasana agak kaku ketika perwakilan perusahaan mulai jelasin indikator keberhasilan—kena dech, istilah KPI muncul di tengah sawah.

Tapi lucunya, ketika sesi dialog dibuka, suara warga justru bikin suasana cair. Ibu-ibu ngomong blak-blakan soal kebutuhan sehari-hari, anak-anak ngebanyol, pemuda setempat nanya soal peluang kerja. Itu momen penting: CSR nggak berhenti di “cash and carry”, tapi harus dengerin suara lokal. Sekali lagi, teori development planning bertemu kenyataan: kebutuhan nyata seringkali beda dari rencana awal.

Gak semua harus formal: kopi, gorengan, dan musyawarah

Pernah kebayang rapat desa sambil ngemil? Di sini itu normal. Sesi musyawarah sambil makan pisang goreng ternyata lebih efektif: orang lebih rileks, bicara apa adanya. Perusahaan belajar bahwa pendekatan manusiawi membuka ruang komunikasi. Ketika fasilitator turun ke sawah, ngobrol santai, baru muncul ide-ide kreatif dari warga—mulai bikin bank sampah sampai program homestay desa untuk wisata kecil-kecilan.

Saat itulah gue nge-link satu sumber inspirasi ke materi presentasi mereka: comisiondegestionmx. Bukan promosi, tapi semacam pengingat bahwa ada banyak pendekatan partisipatif yang bisa dipelajari dari pengalaman global—tentu disesuaikan budaya lokal.

Belajar bareng: pelatihan yang bikin semangat

Salah satu titik yang bikin bangga adalah ketika pelatihan keterampilan benar-benar diminati. Perusahaan nggak cuma ngasih modal, tapi juga fasilitator yang ajarin manajemen usaha, pencatatan keuangan sederhana, hingga pemanfaatan media sosial buat jualan produk desa. Ada pemuda yang awalnya males, sekarang rajin posting foto produk sambil nge-blur background ala influencer. Lucu, tapi efektif.

Yang bikin beda adalah model pelatihan berbasis komunitas: peserta belajar dengan contoh nyata, praktek langsung, dan ada pendampingan berkala. Itu mencegah proyek cuma jadi “proyek cantik” di laporan akhir, tapi berlanjut jadi usaha kecil yang nyambung dengan pasar lokal.

Drama kecil: konflik, ego, dan solusi kreatif

Gak lengkap kalau nggak ada drama. Konflik muncul soal pembagian bantuan, siapa yang pegang aset, hingga pencatatan penggunaan dana. Ada yang khawatir perusahaan bakal pulang setelah proyek selesai, meninggalkan aset yang nggak terurus. Solusinya? Bentuk kelompok pengelola lokal, buat aturan main, dan ada transparansi anggaran yang sederhana tapi jelas. Kadang solusinya simpel: rapat rutin, daftar hadir, dan galon air minum—hal kecil yang bikin komitmen tetap hidup.

Di sinilah peran CSR berubah: bukan sekadar donor, tapi fasilitator perubahan. Perusahaan harus siap jadi mitra jangka panjang, atau minimal transfer pengetahuan yang cukup agar warga bisa jalan sendiri. Kalau tidak, hasilnya rawan jadi proyek “tamu seminggu” yang cepat dilupakan.

Penutup: bukan soal besar-kecil, tapi konsisten

Di balik program desa ada pelajaran penting: keberlanjutan lebih penting daripada spektakuler. Modal besar tapi pendek napas biasanya kurang berdampak. Sebaliknya, kolaborasi kecil yang konsisten—melibatkan warga, menghormati kearifan lokal, serta membangun kapasitas—itu yang paling bikin perubahan nyata.

Saat gue pamitan, ada ibu-ibu yang bilang, “Terima kasih ya, udah ngajarin kami bikin catatan penjualan.” Gak ada tepuk tangan, tapi ada senyum yang tulus. Itu lebih bermakna daripada foto seremonial. Jadi, kalau ada CSR yang mau turun ke desa: datang dengan sikap rendah hati, bawa kopi, dengerin, dan bantu warga merangkai masa depan sendiri. Nggak perlu heroik, cukup jadi bagian dari cerita mereka—yang mungkin, suatu hari nanti, akan diceritakan lagi dengan penuh tawa di warung kopi.

Leave a Reply